-->

Perpustakaan dan Budaya Literasi


Dalam sejarah peradaban umat manusia, kemajuan suatu bangsa tidak hanya bisa dibangun dengan bermodalkan kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku atau penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun yang terjadi sekarang, budaya literasi sudah semakin ditinggalkan oleh generasi muda Indonesia.

Padahal pendidikan berbasis budaya literasi merupa

kan salah satu aspek penting yang harus diterapkan di lembaga-lembaga sekolah guna memupuk minat dan bakat yang terpendam dalam diri mereka. Apalagi saat ini Indonesia masih menghadapi sindrom buta huruf yang kerapkali menjadi penghambat kemajuan pendidikan nasional sehingga dibutuhkannya strategi alternatif yang bisa dilakukan untuk menopang peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Kendati begitu, penguasaan literasi yang tinggi tentunya tidak boleh mengabaikan aspek sosiokultural karena literasi tersebut merupakan bagian dari kultur atau budaya manusia. Hubungan literasi dengan komunikasi memiliki korelasi yang sangat kuat. Bahkan, Kern (2000) menyatakan, “Literacy involves communication” (Literasi melibatkan komunikasi). Literasi yang mencakup dua hal, yaitu keaksaraan dan kewicaraan alias lisan dan tulisan tentunya merupakan bagian dari budaya manusia untuk berkomunikasi antara satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan-tujuan hidup. Dengan penguasaan literasi yang baik atau sesuai dengan konteks sosiokulturalnya, manusia dapat berkomunikasi dengan baik pula.

Agar literasi dapat dikuasai secara maksimal sehingga mampu membantu manusia mencapai tujuan-tujuan mereka, budaya literasi perlu dilaksanakan. Seperti apakah budaya literasi itu?
Secara sederhana, literasia atau literer istilah lain dari melek huruf secara fungsional adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berhitung, dan berbicara serta kemampuan mengidentifikasi, mengurai dan memahami suatu masalah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Balai Pustaka, yang dimaksudkan dengan literer adalah (sesuatu yang) berhubungan dengan tulis-menulis. Dalam konteks kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar.

Dalam paradigma berpikir modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan. Bahkan menurut Kirsch dan Jungeblut (1993) dalam bukunya Literacy: Profiles of America’s Young Adults, literasi kontemporer merupakan kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas.

Di sisi lain, Besnier (dikutip dalam Duranti, 2001) dalam Key Concepts in Language and Culture, literasi adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat. Inskripsi visual di sini termasuk di dalamnya adalah bahasa tulisan yang dimediasi dengan alphabet atau aksara. Untuk mengetahui manfaat budaya literasi yang begitu besar, maka kita perlu belajar dari sejarah peradaban besar di masa lalu dimana budaya literasi pada saat itu dapat mendorong tumbuhnya inovasi baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Pada masa Socrates misalnya, para siswa di Yunani (kota lahirnya para filsuf), diperkenalkan dengan budaya membaca, bukan budaya mendengar, sehingga berkembanglah beragam ilmu pengetahuan dari sana. Ini membuktikan bahwa budaya literasi bagi segenap elemen bangsa merupakan faktor penentu kemajuan yang paling signifikan.

Namun sebagaimana kita cermati dalam kehidupan sehari-hari, budaya lisan (oral society) sudah begitu mendarah daging di hampir setiap stratifikasi sosial, mengalahkan budaya literasi. Proses transfer budaya lebih banyak dilakukan lewat mulut ke mulut seperti dengan bercerita dibandingkan melalui tulisan. Budaya lisan ini semakin menguat dengan hadirnya media radio, televisi, dan internet. Jelas dengan kondisi seperti ini, menciptakan budaya literer secara menyeluruh akan makin sulit terwujud.

Sebab terjadi lompatan fase di mana fase bercerita (praliterer) tidak diselingi dengan fase membaca (literer), tetapi langsung melompat ke budaya menonton (paskaliterer). Tidak heran bila masyarakat kita, anak-anak termasuk orang tua, merasa asing dengan buku. Mereka tentu lebih hafal nama-nama artis di televisi dibandingkan nama-nama penulis. Ditambah lagi, pada dasarnya daya serap melalui pendengaran (auditif) lebih tinggi daripada daya baca.

Memang di Indonesia, salah satu tantangan terbesar dalam pemberdayaan bangsa ini adalah meninggalkan tradisi lisan untuk memasuki tradisi baca tulis (Suroso, 2007:11). Padahal era teknologi informasi telah menciptakan ruang yang luas terhadap tumbuh kembangnya media baca tulis. Data dari Association For the Educational Achievement (IAEA) misalnya, mencatat bahwa pada 1992 Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Masih dalam hal membaca, Indonesia berada di peringkat ke-57 dari 65 negara di dunia atau 8 peringkat terakhir (kompasiana.com, 16/03/2012).

Perbandingannya dengan saat ini barangkali tidak berbeda jauh jika melihat indikator yang ada. Suatu tingkat literasi yang sangat ironis bila kita becermin pada negara-negara tetangga di ASEAN yang sudah terlebih dulu bangkit dari keterpurukan peradaban.
Andai saja budaya literasi ini sudah ditanamkan sejak jauh kala. Mungkin kita tidak hanya mengenal Columbus sebagai penemu Amerika, atau Abel Tasman sebagai penemu Selandia Baru, tapi mungkin nama nenek moyang kita juga terkenal namanya.

Sebab sebagaimana kita ketahui, nenek moyang kita adalah pelaut ulung yang dapat mengarungi lautan lebih dari 6500 km bahkan pada 25 ribu tahun sebelum masehi. Buktinya benda prasejarah suku Aborigin di Autralia memiliki kesamaan dengan yang di Pulau Jawa, perahu cadik asal Indonesia juga ditemukan di kawasan Austronesia. Belum lagi Kerajaan Marina yang ada di wilayah Madagaskar mayoritas penduduknya berasal dari Indonesia.

Satu hal lagi, kenapa perompak laut yang paling terkenal itu berasal dari Negara Viking dan Kepulauan Karibia, padahal di Indonesia juga ada perompak selat Malaka yang terkenal akan keberanian dan kehebatannya. Hal-hal tersebut terjadi karena kurang adanya hasil tulisan seperti catatan atau jurnal perjalanan yang membuktikannya, entah memang hanya sebagian saja yang menulis, entah dokumen itu dicuri, atau hilang entah kemana.
Sebenarnya budaya literasi itu sudah dikembangkan di beberapa daerah Indonesia. Kita bisa lihat, mengapa beberapa tahun ke belakang sastrawan dari Sumatera dan Jawa itu lebih berkembang dibandingkan daerah-daerah lain?

Alasannya karena karya-karya mereka dipublikasikan dalam bentuk tulisan. Di daerah seperti Sulawesi Selatan misalnya, banyak sastrawan tetapi hasil pemikirannya tidak terkelola pada media publik. Hanya milik orang sekitarnya. Padahal, para pendahulu mereka telah menanamkan budaya literasi itu melalui tulisan aksara lontarak. Belum lagi naskah I La Galigo yang merupakan karya orang Bugis di sana. Sebuah naskah yang manuskripnya bisa mencapai 2851 halaman folio yang merupakan epos terpanjang di dunia dimana mengalahkan panjangnya manuskrip dari India, Mahabarata karya Vyasa dan Ramayana karya Walmiki, bahkan masih lebih panjang dibandingkan epos Yunani, Homeros.

Ironisnya, sampai saat ini semangat menuangkan ide dalam tulisan belum berjalan maksimal di lapangan. Menurut Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Djalal misalnya, kemampuan ilmuwan Indonesia untuk menyumbang penelitian ke jurnal ilmiah hanya 0,8 artikel per 1 juta penduduk. Sebuah bukti betapa rendahnya kemampuan peneliti Indonesia. Lebih jauh diungkapkan, jurnal ilmiah Indonesia yang terakreditasi oleh Ditjen Dikti hanya 121 buah. Berdasarkan data, selama kurun waktu 1996–2010 Indonesia memiliki 13.047 jurnal ilmiah. Tertinggal jauh dibandingkan negeri tetangga Malaysia (55.211) dan Thailand (58.931).

Perlu disadari, penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulung punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Kita tidak mungkin menjadi bangsa yang besar, apabila hanya mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran di hampir setiap lembaga pendidikan. Ironi tingkat literasi kita yang semakin menurun, menunjukkan ketidakmampuan bangsa ini dalam mengelola sistem pendidikan yang mencerahkan dan memberdayakan bagi segenap anak bangsa yang potensial dan cerdas. Sudah saatnya, budaya literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak bisa mengenal bahan bacaan dan menguasai dunia tulis-menulis.

Sarana yang paling pas untuk memulai budaya literasi tersebut adalah perpustakaan. Perpustakaan dalam pengertian tradisional diartikan sebagai suatu unit terorganisir yang terdiri dari dua unsur yaitu buku dan ruangan. Namun, saat ini paradigma lama mulai tergeser seiring perkembangan berbagai jenis perpustakaan dan variasi koleksi dalam berbagai format yang memungkinkan perpustakaan secara fisik tidak lagi berupa gedung penyimpanan koleksi buku.

Contohnya bisa kita lihat pada jenis perpustakaan digital yang berbasis teknologi digital atau mendapat bantuan komputer dan jaringan internet dalam seluruh aktifitas di perpustakaannya. Koleksinya juga tidak terbatas pada buku namun juga berupa foto, rekaman, film atau slide dalam format softcopy atau hardcopy seperti electiric book, piringan, pita magnetik, CD atau DVD. Koleksi bahan pustaka ini kemudia diatur secara sistematis dan dapat digunakan oleh pemakainya sebagai sumber informasi.

Sayang fasilitas yang ada tidak sebanding dengan jumlah penggunanya. Bahkan keadaan diperparah kegagapan literasi masyarakat Indonesia. Taufiq Ismail menyebut Indonesia negara yang nol buku sebab jumlah bacaan buku wajib siswa SMA di Indonesia adalah nol (0 buku), Malaysia (6 buku) dan Amerika (30 buku). Sedangkan menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud, kemampuan membaca anak usia 15 tahun, hanya 37,6% anak yang membaca tanpa bisa menangkap makna. Begitu pun dalam persoalan menulis, Indonesia hanya mampu menghasilkan 8.000 buku per tahun, tertinggal dari Vietnam yang mampu menghasilkan 15.000 buku per tahun.

Dalam persoalan minat baca, sepertinya pemerintah Indonesia perlu mengambil teladan dari goyangan literasi India. Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru pernah mengatakan, "Kemajuan iptek dan industri harus sejalan dengan kemajuan sosial dan kebudayaan. Indikator paling nyata adalah tingginya minat baca masyarakat agar mammpu memahami dan menghargai berbagai kekayaan tradisi, seni dan budaya di masyarakat India sendiri". Dalam konteks global, India menempati peringkat pertama dalam menggunakan waktu untuk membaca. Orang India menghabiskan waktu membaca 10,7 jam per minggu.

Berbicara tentang gemar membaca berarti kita dihadapkan pada masalah bagaimana menumbuhkan kegemaran membaca pada diri sendiri kemudian meningkatkan kegemaran terutama di lingkungan sekitar kita sendiri. Maka perlu disadari, kecerdasan seseorang dapat dilihat dari sebanyak apakah buku yang dia baca. Begitu juga suatu bangsa, dapat kita ketahui kemajuannya dengan melihat sejauh mana budaya literasinya.

Wajah masa depan sebuah negeri pun dapat dilihat dari bagaimana kualitas literasi anak-anak masa kini. Dengan memperkenalkan budaya literasi kepada anak-anak sejak dini melalui contoh dan penyampaian yang menarik, maka kita tak perlu khawatir lagi kalau mereka akan menjadi korban globalisasi atau peradaban modern. Hal tersebut bisa dimulai dari lingkup yang paling kecil seperti keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Selain itu, pemerintah dan media massa juga memegang peranan penting dalam menumbuhkan kebiasaan gemar baca tulis ini dengan cara meningkatkan sarana prasarana perpustakaan dan mempromosikan perpustakaan di semua kalangan masyarakat.
Tidak dapat dimungkiri bahwa minat baca mampu mencerdaskan sebuah bangsa, yang merupakan tujuan dari Negara kita.

Hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan karena membaca merupakan aktivitas yang kaya dengan makna. Dengan membaca, pikiran dapat bergerak dan tercerahkan. Sedangkan dengan menulis, pikiran dapat diketahui semua orang dan menjadi bahan pembelajaran yang mencerahkan banyak orang. Lebih dari itu, membaca dan menulis merupakan aktivitas membangun peradaban sekaligus merawat peradaban itu sendiri. Maka dari itu mari kita budayakan budaya literasi ini dengan menggalakan gerakan cinta perpustakaan.


Source : kabarindonesia.com

0 komentar: